Sabtu, 08 Februari 2014

Jurus Bebaskan Jakarta Dari Banjir


Banjir Jakarta bukanlah masalah baru. Sejak Indonesia belum merdeka, Jakarta telah mengalami banjir. Masalah tahunan itu harus dicari solusinya agar tamu tak diundang itu tidak selalu merepotkan Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia.

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga mengatakan, salah satu langkah untuk mengurangi banjir adalah dengan memaksimalkan waduk dan situ yang ada di ibu kota. Mengingat jumlah “baskom” raksasa itu cukup banyak, yakni mencapai 78. Namun sayangnya, saat ini kondisi puluhan waduk dan situ sangat memprihatinkan. Sebagian besar lahannya digunakan untuk pemukiman warga. Selain itu juga sedimen yang tinggi membuat kapasitas waduk dan situ berkurang.

Jika seluruh situ dan waduk yang ada di Jakarta dinormalisasi dirinya yakin akan mengurangi banjir di Jakarta. Sebab selama ini, puluhan baskom raksasa tersebut tidak pernah dirawat dengan baik. “Jakarta punya 78 situ dan waduk, sementara yang sudah dikeruk hanya Waduk Pluit dan Ria Rio. Daripada membuang uang untuk bangun waduk baru, lebih baik revitalisasi waduk yang sudah ada," katanya, baru-baru ini.

Ia menyebutkan, untuk menyelesaikan seluruh pengerukan, waktu yang diperlukan hingga 3-5 tahun ke depan. Namun, anggaran yang dikeluarkan akan lebih irit. "Saya lihat kemarin banyak daerah yang banjir, tapi waduk-waduk justru tidak luber. Harusnya bisa dimaksimalkan," ujarnya.

Dijelaskan Nirwono, untuk membangun dua waduk di Bogor saja harus menghabiskan Rp 1,2 triliun. Sementara untuk pembangunan sembilan waduk di Jakarta juga akan menghabiskan anggaran miliaran rupiah. Jika dana tersebut digunakan untuk revitalisasi waduk yang ada di Jakarta akan lebih berguna. Sebab selama ini, Pemprov DKI Jakarta sulit untuk melakukan perawatan.

"Di Jabodetabek ada 204 waduk dan situ, hanya 73 yang berfungsi optimal. Jika 200 waduk itu di benahi saya yakin dapat mengurangi banjir di Jakarta," ucapnya.

Sementara itu, terkait banjir yang menggenangi ring 1 pada Rabu (5/2) lalu, dirinya menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta melakukan audit bangunan. Berdasarkan data yang dimilikinya kavling-kavling perkantoran sebagian besar tidak dilengkapi dengan resapan air. Sehingga saat hujan turun, semua air mengalir ke jalan. Padahal, salurannya tidak mampu menampung.

Selama ini, lanjut Nirwono, setiap bangunan tinggi diwajibkan dilengkapi dengan ruang terbuka hijau (RTH) hingga 30 persen dari luas tanahnya. Namun, 90 persen gedung tinggi di Jakarta melanggar peraturan itu. "Hampir sebagian besar di kavling ring 1 dipenuhi bangunan yang tidak ada resapan airnya. Jadi harus dilakukan audit bangunan dan tata ruang. Karena saya pastikan 90 persen gedung tinggi melanggar," tegasnya.

Setelah dilakukan audit, Pemprov DKI harus bersikap tegas dengan memberikan sanksi jika bangunan tidak dilengkapi resapan air. Pemilik bangunan mau tidak mau harus membongkar aspal atau beton di lahan mereka untuk resapan air. Sehingga nantinya air yang turun, tidak semua ditampung di saluran saja.

Selain itu, dirinya menilai hanya 33 persen drainase atau saluran air di Jakarta yang berfungsi optimal. Sementara sisanya banyak yang sudah tertutup dengan sedimen dan tidak menampung air. Sehingga saat curah hujan cukup deras saluran air tidak tertampung. Akibatnya, banjir selalu datang menghantui Jakarta.